الثلاثاء، 18 مارس 2014

Aplikasi Kitab Maulid Simtud Duror Untuk Android

Alhamdulillah, bersamaan dengan masuknya bulan Rabi’ul Awwal, bulan di mana Sayyidina Muhammad Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan, dan bersamaan dengan dilahirkannya Beliau di dunia ini, maka iblis pun menangis keras dan meraung-raung ketika mendengar kabar bahwa Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan.
Dan di bulan inilah banyak diselenggarakan majelis-majelis maulid Nabi, di majelis itu dikaji tentang sirah Nabi, perjalanan hidup Nabi, tingginya akhlak dan budi pekerti Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dan hal-hal lain berkaitan dengan Nabi Muhammad Shollallaahu ‘alaihi wa sallam.
Bertepatan dengan momen itulah, kami launching lagi update aplikasi mawlid simtud duror sebagai penyempurnaan dari aplikasi serupa yang pernah kami publikasikan. Aplikasi maulid simtud durar ini hanya untuk Android versi 4.0 ke atas.
Banyak update pada aplikasi terbaru ini, diantaranya:
1. Tampilan antar-muka yang lebih elegan.
2. Ringan.
3. Perubahan font.
4. Penambahan fitur Zoom untuk mengubah ukuran teks.
Beberapa Screenshot Tampilannya:
     
     
Klik DOWNLOAD untuk mengunduh file installer Maulid Simtud Durar versi Android
Semoga bermanfaat….
 
Sumber: http://jundumuhammad.net

Download Aplikasi Kitab Kuning Untuk HP JAVA & Symbian

Assalamu'alaikum....


  Sobat sekalian.. Dunia Teknologi Informatika telah mengalami masa kemajuan yang luar biasa, salah satunya adalah Handpone (HP). Alat komunikasi  yang satu ini bukan lagi menjadi alat komunikasi yang asing bagi masyarakat Indonesia baik di kota maupun di desa. Nah sayang kan bila kemajuan Teknologi Informatika tidak kita jadikan sarana untuk belajar.  
       Selain sebagai alat komunikasi, Handpone juga dapat kita jadikan sebagai sarana belajar. Salah satunya yaitu aplikasi kitab kuning Versi Java yang dapat kita nikmati melalui ponsel sobat. Hasil Karya Saudara Ahmad Mujalli Anwar Putra Bangkalan Madura ini sangat membantu kita dalam belajar dan mencari referensi kajian kitab-kitab kuning klasik.
Baik langsung saja, yang perlu sobat lakukan untuk dapat menikmati aplikasi ini adalah: 
  1.  Download Link yang ada pada daftar kitab. hingga selesai seperti contoh ini.

    
     2.  Install File yang sudah didownload ke ponsel sobat yang mendukung java aplikasi
    
     3.  Selesai..
Berikut daftar Aplikasi kitab -kitab kuning untuk HP yang bisa sobat download secara gratis..
  1. Alfiyyah Ibnu Malik .jar (122 kb) download disini
  2. Syarkh Ibnu 'Aqil.jar  (301 kb) download  disini
  3. Al Imrithi.jar (88 kb) download  disini
  4. Tafsir Jalalain.jar (655 kb) download disini
  5. Al I'anah At Tholibin.jar (2.87 Mb) download disini
  6. Fathul Qorib.jar (194 kb) download disini
  7. Fathul Mu'in.jar (375 kb) download disini
  8. Tafsir Al Kabir (2.82 Mb) download disini
  9. 'Ulumul Qur'an.jar (1.96 Mb) download disini


 Aplikasi Kitab Kuning Yang Lain
Demikian tadi aplikasi kitab kuning untuk HP, mudah-mudahan bermanfaat bagi kita dan menjadi amal sholih bagi pembuatnya.. Amiin

Sumber: http://mukhlis-haryadi.blogspot.com

Maktabah Syamilah Untuk Android Antum

Alhamdulillah ! Setelah mencari kurang lebih sebulan "Aplikasi Maktabah Syamilah" untuk tablet android "Samsung Galaxy Tab 2 7.0" yang kubeli untuk zaujaty di "Play Store" namun tak kunjung dapat, akhirnya ketemu juga sebuah tulisan di beberapa blog yang membahas tentang cara instal Aplikasi Maktabah Syamilah di Android, setelah berselancar di googel.

Bagi yang ingin meng-instal Maktabah Syamilah for Android ini, berikut langkah langkahnya :

Langkah Pertama :
Download Maktabah Syamilah dari "Play Store" langsung dari Smartphone/Tablet android anda. Caranya cari di "Play Store" Maktabah Syamilah dengan kata kunci "NYITGROUP", kenapa kata Kunci NYITGGROUP...???, ya karena Maktabah Syamilah for Android dikembangkan/dibuat Oleh NYITGROUP, sehingga ketika di search bisa langsung muncul Aplikasi Maktabah Syamilah yang kita inginkan


Langkah Kedua :
Setelah sukses di download, jalankan Maktabah syamilah, ketika pertama kali di jalankan, secara otomatis Maktabah Syamilah akan mendownload beberapa File yang di butuhkan untuk membuat Database menu dan Folder, tunggu saja sampai proses download selesai.

Langkah Ketiga :
Setelah selesai, maka anda akan menemukan tampilan Maktabah Syamilah dengan menu nama-nama semua bidang Ilmu, semua kitab di kelompokkan berdasarkan kategori, seperti kategori Tafsir, Hadis, Fiqih Syafii, Fiqih Maliki, dan lain-lain, namun menu kategori/bidang ilmu tersebut itu masih kosong semua, belum ada isinya. agar menu kategori/bidang ilmu tersebut ada kitab-kitabnya maka anda harus mendownload dulu kitab-kitab yang anda inginkan sesuai keinginan dan kebutuhan, anda tidak harus mendownload semuanya, anda cukup mendownload beberapa kitab yang anda butuhkan saja.
Langkah Keempat :
Cara download kitab
  1. Klik menu تنزيل الكتب
  2. Lalu klik kategori kitab yang anda inginkan, misalnya anda ingin mendownload Kitab كفاية اﻷخيار maka klik kategori فقه شافعي lalu pada nama كفاية اﻷخيار anda klik tombol download (tanda panah di bagian samping kiri), maka download akan berjalan. Anda juga bisa mendownload banyak kitab sekaligus, dengan cara centang semua nama kitab yang anda inginkan, lalu klik tombol تنزيل مجموعة yang ada di bagian atas.
Langkah Kelima : 
Dengan Cara di atas, database maktabah syamilah akan masuk di memory internal tempat aplikasi syamilah terinstal, anda bisa mengatur agar database bisa masuk ke memory external supaya memory internal tidak full, karena database maktabah syamilah jika di download semua ukurannya bisa mencapai 16 giga. Namun tentu saja anda bisa memilih kitab-kitab yang di perlukan saja tuk menghemat memory.

Adapun cara tuk memindah tempat penyimpanan database akan dibahas pada posting berikutnya.

Sumber : Cara instal Maktabah syamilah di Android

الجمعة، 18 أكتوبر 2013

Jawaban Prof Dr As Sayyid Muhammad Al Maliki tentang Maulidurrasul s.a.w

Pada bulan Rabiul Awwal ini kita menyaksikan di belahan dunia islam, kaum muslimin merayakan Maulid, Kelahiran Nabi Muhammad Saw dengan cara dan adat yang mungkin beraneka ragam dan berbeda-beda. Tetapi tetap pada satu tujuan, yaitu memperingati kelahiran Nabi mereka dan menunjukkan rasa suka cita dan bergembira dengan kelahiran beliau Saw. Tak terkecuali di negara kita Indonesia, di kota maupun di desa masyarakat begitu antusias melakukan perayaan tersebut.
Demikian pemandangan yang kita saksikan setiap datang bulan Rabiul awwal.
Telah ratusan tahun kaum muslimin merayakan maulid Nabi Saw, Insan yang paling mereka cintai. Tetapi hingga kini masih ada saja orang yang menolaknya dengan berbagai hujjah. Diantaranya mereka mengatakan, orang-orang yang mengadakan peringatan Maulid Nabi menjadikannya sebagai ‘Id (Hari Raya) yang syar’i, seperti ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha. Padahal, peringatan itu, menurut mereka, bukanlah sesuatu yang berasal dari ajaran agama. Benarkah demikian? Apakah yang mereka katakan itu sesuai dengan prinsip-prinsip agama, ataukah justru sebaliknya?
Di antara ulama kenamaan di dunia yang banyak menjawab persoalan-persoalan seperti itu, yang banyak dituduhkan kepada kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, adalah As Sayyid Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Alawi Al Maliki. Berikut ini kami nukilkan uraian dan ulasan beliau mengenai hal tersebut sebagaimana termaktub dalam kitab beliau Dzikrayat wa Munasabat dan Haul al Ihtifal bi Dzikra Maulid An Nabawi Asy Syarif.
Hari Maulid Nabi SAW lebih besar, lebih agung, dan lebih mulia daripada ‘Id. ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha hanya berlangsung sekali dalam setahun, sedangkan peringatan Maulid Nabi SAW, mengingat beliau dan sirahnya, harus berlangsung terus, tidak terkait dengan waktu dan tempat.
Hari kelahiran beliau lebih agung daripada ‘Id, meskipun kita tidak menamainya ‘Id. Mengapa? Karena beliaulah yang membawa ‘Id dan berbagai kegembiraan yang ada di dalamnya. Karena beliau pula, kita memiliki hari-hari lain yang agung dalam Islam. Jika tidak ada kelahiran beliau, tidak ada bi’tsah (dibangkitkannya beliau sebagai rasul), Nuzulul Quran (turunnya AI-Quran), Isra Mi’raj, hijrah, kemenangan dalam Perang Badar, dan Fath Makkah (Penaklukan Makkah), karena semua itu berhubungan dengan beliau dan dengan kelahiran beliau, yang merupakan sumber dari kebaikan-kebaikan yang besar.
Banyak dalil yang menunjukkan bolehnya memperingati Maulid yang mulia ini dan berkumpul dalam acara tersebut, di antaranya yang disebutkan oleh Prof. DR. As Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki. Sebelum mengemukakan dalil-dalil tersebut, beliau menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan peringatan Maulid.
Pertama, kita memperingati Maulid Nabi SAW bukan hanya tepat pada hari kelahirannya, melainkan selalu dan selamanya, di setiap waktu dan setiap kesempatan ketika kita mendapatkan kegembiraan, terlebih lagi pada bulan kelahiran beliau, yaitu Rabi’ul Awwal, dan pada hari kelahiran beliau, hari Senin. Tidak layak seorang yang berakal bertanya, “Mengapa kalian memperingatinya?” Karena, seolah-olah ia bertanya, “Mengapa kalian bergembira dengan adanya Nabi SAW?”.
Apakah sah bila pertanyaan ini timbul dari seorang muslim yang mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah? Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang bodoh dan tidak membutuhkan jawaban. Seandainya pun saya, misalnya, harus menjawab, cukuplah saya menjawabnya demikian, “Saya memperingatinya karena saya gembira dan bahagia dengan beliau, saya gembira dengan beliau karena saya mencintainya, dan saya mencintainya karena saya seorang mukmin”.
Kedua, yang kita maksud dengan peringatan Maulid adalah berkumpul untuk mendengarkan sirah beliau dan mendengarkan pujian-pujian tentang diri beliau, juga memberi makan orangorang yang hadir, memuliakan orangorang fakir dan orang-orang yang membutuhkan, serta menggembirakan hati orang-orang yang mencintai beliau.
Ketiga, kita tidak mengatakan bahwa peringatan Maulid itu dilakukan pada malam tertentu dan dengan cara tertentu yang dinyatakan oleh nash-nash syariat secara jelas, sebagaimana halnya shalat, puasa, dan ibadah yang lain. Tidak demikian. Peringatan Maulid tidak seperti shalat, puasa, dan ibadah. Tetapi juga tidak ada dalil yang melarang peringatan ini, karena berkumpul untuk mengingat Allah dan Rasul-Nya serta hal-hal lain yang baik adalah sesuatu yang harus diberi perhatian semampu kita, terutama pada bulan Maulid.
Keempat, berkumpulnya orang untuk memperingati acara ini adalah sarana terbesar untuk dakwah, dan merupakan kesempatan yang sangat berharga yang tak boleh dilewatkan. Bahkan, para dai dan ulama wajib mengingatkan umat tentang Nabi, baik akhlaqnya, hal ihwalnya, sirahnya, muamalahnya, maupun ibadahnya, di samping menasihati mereka menuju kebaikan dan kebahagiaan serta memperingatkan mereka dari bala, bid’ah, keburukan, dan fitnah.
Yang pertama merayakan Maulid Nabi SAW adalah shahibul Maulid sendiri, yaitu Nabi SAW, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan Muslim bahwa, ketika ditanya mengapa berpuasa di hari Senin, beliau menjawab, “Itu adalah hari kelahiranku.” Ini nash yang paling nyata yang menunjukkan bahwa memperingati Maulid Nabi adalah sesuatu yang dibolehkan syara’.
Dalil-dalil Maulid
Banyak dalil yang bisa kita jadikan sebagai dasar diperbolehkannya memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW .
Pertama, peringatan Maulid Nabi SAW adalah ungkapan kegembiraan dan kesenangan dengan beliau. Bahkan orang kafir saja mendapatkan manfaat dengan kegembiraan itu (Ketika Tsuwaibah, budak perempuan Abu Lahab, paman Nabi, menyampaikan berita gembira tentang kelahiran sang Cahaya Alam Semesta itu, Abu Lahab pun memerdekakannya. Sebagai tanda suka cita. Dan karena kegembiraannya, kelak di alam baqa’ siksa atas dirinya diringankan setiap hari Senin tiba. Demikianlah rahmat Allah terhadap siapa pun yang bergembira atas kelahiran Nabi, termasuk juga terhadap orang kafir sekalipun. Maka jika kepada seorang yang kafir pun Allah merahmati, karena kegembiraannya atas kelahiran sang Nabi, bagaimanakah kiranya anugerah Allah bagi umatnya, yang iman selalu ada di hatinya?)
Kedua, beliau sendiri mengagungkan hari kelahirannya dan bersyukur kepada Allah pada hari itu atas nikmatNya yang terbesar kepadanya.
Ketiga, gembira dengan Rasulullah SAW adalah perintah AI-Quran. Allah SWT berfirman, “Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira’.” (QS Yunus: 58). Jadi, Allah SWT menyuruh kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya, sedangkan Nabi SAW merupakan rahmat yang terbesar, sebagaimana tersebut dalam Al-Quran, “Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya’: 107).
Keempat, Nabi SAW memperhatikan kaitan antara waktu dan kejadian-kejadian keagamaan yang besar yang telah lewat. Apabila datang waktu ketika peristiwa itu terjadi, itu merupakan kesempatan untuk mengingatnya dan mengagungkan harinya.
Kelima, peringatan Maulid Nabi SAW mendorong orang untuk membaca shalawat, dan shalawat itu diperintahkan oleh Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuknya dan ucapkanlah salam sejahtera kepadanya.” (QS Al-Ahzab: 56).
Apa saja yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh syara’, berarti hal itu juga dituntut oleh syara’. Berapa banyak manfaat dan anugerah yang diperoleh dengan membacakan salam kepadanya.
Keenam, dalam peringatan Maulid disebut tentang kelahiran beliau, mukjizat-mukjizatnya, sirahnya, dan pengenalan tentang pribadi beliau. Bukankah kita diperintahkan untuk mengenalnya serta dituntut untuk meneladaninya, mengikuti perbuatannya, dan mengimani mukjizatnya. Kitab-kitab Maulid menyampaikan semuanya dengan lengkap.
Ketujuh, peringatan Maulid merupakan ungkapan membalas jasa beliau dengan menunaikan sebagian kewajiban kita kepada beliau dengan menjelaskan sifat-sifatnya yang sempurna dan akhlaqnya yang utama.
Dulu, di masa Nabi, para penyair datang kepada beliau melantunkan qashidah-qashidah yang memujinya. Nabi ridha (senang) dengan apa yang mereka lakukan dan memberikan balasan kepada mereka dengan kebaikan-kebaikan. Jika beliau ridha dengan orang yang memujinya, bagaimana beliau tidak ridha dengan orang yang mengumpulkan keterangan tentang perangai-perangai beliau yang mulia. Hal itu juga mendekatkan diri kita kepada beliau, yakni dengan manarik kecintaannya dan keridhaannya.
Kedelapan, mengenal perangai beliau, mukjizat-mukjizatnya, dan irhash-nya (kejadian-kejadian luar biasa yang Allah berikan pada diri seorang rasul sebelum diangkat menjadi rasul), menimbulkan iman yang sempurna kepadanya dan menambah kecintaan terhadapnya.
Manusia itu diciptakan menyukai hal-hal yang indah, balk fisik (tubuh) maupun akhlaq, ilmu maupun amal, keadaan maupun keyakinan. Dalam hal ini tidak ada yang lebih indah, lebih sempurna, dan lebih utama dibandingkan akhlaq dan perangai Nabi. Menambah kecintaan dan menyempurnakan iman adalah dua hal yang dituntut oleh syara’. Maka, apa saja yang memunculkannya juga merupakan tuntutan agama.
Kesembilan, mengagungkan Nabi SAW itu disyariatkan. Dan bahagia dengan hari kelahiran beliau dengan menampakkan kegembiraan, membuat jamuan, berkumpul untuk mengingat beliau, serta memuliakan orang-orang fakir, adalah tampilan pengagungan, kegembiraan, dan rasa syukur yang paling nyata.
Kesepuluh, dalam ucapan Nabi SAW tentang keutamaan hari Jum’at, disebutkan bahwa salah satu di antaranya adalah, “Pada hari itu Adam diciptakan:” Hal itu menunjukkan dimuliakannya waktu ketika seorang nabi dilahirkan. Maka bagaimana dengan hari di lahirkannya nabi yang paling utama dan rasul yang paling mulla?
Kesebelas, peringatan Maulid adalah perkara yang dipandang bagus oleh para ulama dan kaum muslimin di semua negeri dan telah dilakukan di semua tempat. Karena itu, ia dituntut oleh syara’, berdasarkan qaidah yang diambil dari hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud, “Apa yang dipandang balk oleh kaum muslimin, ia pun balk di sisi Allah; dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, ia pun buruk di sisi Allah.”
Kedua belas, dalam peringatan Maulid tercakup berkumpulnya umat, dzikir, sedekah, dan pengagungan kepada Nabi SAW. Semua itu hal-hal yang dituntut oleh syara’ dan terpuji.
Ketiga belas, Allah SWT berfirman, “Dan semua kisah dari rasul-rasul, Kami
ceritakan kepadamu, yang dengannya Kami teguhkan hatimu:’ (QS Hud: 120). Dari ayat ini nyatalah bahwa hikmah dikisahkannya para rasul adalah untuk meneguhkan hati Nabi. Tidak diragukan lagi bahwa saat ini kita pun butuh untuk meneguhkan hati kita dengan berita-berita tentang beliau, lebih dari kebutuhan beliau akan kisah para nabi sebelumnya.
Keempat belas, tidak semua yang tidak pernah dilakukan para salaf dan tidak ada di awal Islam berarti bid’ah yang munkar dan buruk, yang haram untuk dilakukan dan wajib untuk ditentang. Melainkan apa yang “baru” itu (yang belum pernah dilakukan) harus dinilai berdasarkan dalii-dalil syara’.
Kelima belas, tidak semua bid’ah itu diharamkan. Jika haram, niscaya haramlah pengumpulan Al-Quran, yang dilakukan Abu Bakar, Umar, dan Zaid, dan penulisannya di mushaf-mushaf karena khawatir hilang dengan wafatnya para sahabat yang hafal Al-Quran. Haram pula apa yang dilakukan Umar ketika mengumpulkan orang untuk mengikuti seorang imam ketika melakukan shalat Tarawih, padahal ia mengatakan, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Banyak lagi perbuatan baik yang sangat dibutuhkan umat akan dikatakan bid’ah yang haram apabila semua bid’ah itu diharamkan.
Keenam belas, peringatan Maulid Nabi, meskipun tidak ada di zaman Rasulullah SAW, sehingga merupakan bid’ah, adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang balk), karena ia tercakup di dalam dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah kulliyyah (yang bersifat global).
Jadi, peringatan Maulid itu bid’ah jika kita hanya memandang bentuknya, bukan perinaan-perinaan amalan yang terdapat di dalamnya (sebagaimana terdapat dalam dalil kedua belas), karena amalan-amalan itu juga ada di masa Nabi.
Ketujuh belas, semua yang tidak ada pada awal masa Islam dalam bentuknya tetapi perincian-perincian amalnya ada, juga dituntut oleh syara’. Karena, apa yang tersusun dari hal-hal yang berasal dari syara’, pun dituntut oleh syara’.
Kedelapan belas, Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Apa-apa yang baru (yang belum ada atau dilakukan di masa Nabi SAW) dan bertentangan dengan Kitabullah, sunnah, ijmak, atau sumber lain yang dijadikan pegangan, adalah bid’ah yang sesat. Adapun suatu kebaikan yang baru dan tidak bertentangan dengan yang tersebut itu, adalah terpuji “
Kesembilan belas, setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syar’i dan tidak dimaksudkan untuk menyalahi syariat dan tidak pula mengandung suatu kemunkaran, itu termasuk ajaran agama.
Keduapuluh, memperingati Maulid Nabi SAW berarti menghidupkan ingatan (kenangan) tentang Rasulullah, dan itu menurut kita disyariatkan dalam Islam. Sebagaimana yang Anda lihat, sebagian besar amaliah haji pun menghidupkan ingatan tentang peristiwa-peristiwa terpuji yang telah lalu.
Kedua puluh satu, semua yang disebutkan sebelumnya tentang dibolehkannya secara syariat peringatan Maulid Nab! SAW hanyalah pada peringatan-peringatan yang tidak disertai perbuatan-perbuatan munkar yang tercela, yang wajib ditentang.
Adapun jika peringatan Maulid mengandung hal-hal yang disertai sesuatu yang wajib diingkari, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, dilakukannya perbuatanperbuatan yang terlarang, dan banyaknya pemborosan dan perbuatan-perbuatan lain yang tidak diridhai Shahibul Maulid, tak diragukan lagi bahwa itu diharamkan. Tetapi keharamannya itu bukan pada peringatan Maulidnya itu sendiri, melainkan pada hal-hal yang terlarang tersebut

الثلاثاء، 15 أكتوبر 2013

Mengapa Doa-Doaku Tidak Terkabulkan?

Doa peneduh jiwa yang sedang terbalut oleh kalut, sedih dan gundah. Ia memberi ruang tersendiri bagi mereka yang ingin mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta. Akan tetapi, kadang kita mengira sesuatu yang dipanjatkan itu belum juga terpenuhi, sehingga dengan sendirinya hati pun bertanya-tanya dan berkata:
“Kenapa yah, doa-doaku tidak terkabulkan? Apa yang salah dalam diri ini? Bukankah aku telah menunjukkan kehambaanku kepada-Nya dengan doa-doa itu?”
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini telah dijawab dengan jelas kedua ayat berikut ini:

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ ﴿٥٥﴾ وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ ﴿٥٦﴾

Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.  (QS. Al-A’raf [7]: 55-56)

Hemat penulis, doa yang terkabulkan adalah doa yang mematuhi adab doa yang dijelaskan ayat di atas. Adab-adab tersebut dapat diuraikan sebagaimana berikut:

Adab pertama: Berdoa dengan penuh rendah diri dan suara lemah lembut
Para pakar tafsir berbeda dalam memaknai kata (التَّضّرُّعُ). Imam Ibn Jarir at-Thabari cenderung menafsirkannya dengan makna rendah diri, merasa hina, dan berupaya menghadirkan kedamaian hati di setiap doa.[[1]]
Penalaran ini disepakati kebanyakan penafsir yang datang setelahnya, seperti: al-Allâma Abu Hayyân, dan al-Hâfidzh Ibn Katsîr.[[2]]
Di lain pihak, al-Qâdhi Ibn Atiyyah menafsirkannya dengan doa yang terdengar jelas. Beliau berkata:
“Kata at-Tadarru’ (التَّضّرُّعُ) menghendaki kejelasan suara, karena kata itu sendiri tidak dipergunakan kecuali pada permintaan yang disertai dengan pelbagai isyarat dan gerakan tubuh.” [[3]]
Pemaknaan ini dilegitimasi al-Allâma Muhammad Thâhir bin Asyûr dalam pernyataannya berikut ini:
(التَّضَرُّعُ) artinya: menunjukkan kerendahan diri dengan perihal tertentu. Olehnya itu (التَّضَرُّعُ) adalah doa yang disertai dengan suara yang jelas. Inilah penafsiran yang kami pilih karena menunjukkan keserasian makna (antonim) antara kata tersebut dengan kata (الحَفِيَّة), yang artinya: berdoa dengan suara yang lemah lembut. Olehnya itu, kata penghubung (الواو) huruf (Waw) yang sering kali diartikan dengan makna (dan), di sini ia berfungsi seperti (أَوْ) huruf (Aw), yang berarti atau. Artinya: Anda boleh memanjatkan doa dengan suara yang terdengar jelas atau dengan suara yang lemah lembut (tidak ada yang mendengarkannya kecuali Anda sendiri).”[[4]]
Hemat penulis, kata (التَّضَرُّعُ) meliputi kedua pemaknaan itu. Al-Qur’an sengaja menempatkan kata tersebut untuk menyuguhkan makna ini:
“Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman! Berdoalah dengan penuh kerendahan diri dan kekhusyukan, baik di waktu berdoa dengan suara yang jelas, atau dengan suara yang lemah lembut.”
Hal ini dipertegas oleh kesimpulan Ustadz Muhammad Râsyîd Ridhâ di bawah ini:
“Kedua bentuk doa itu punya waktu tersendiri. At-Tadarru’ dengan suara yang jelas bagus dan tepat di waktu menyendiri, aman dari penglihatan orang lain, sehingga mereka tidak merasa terusik dengan suara itu, dan perhatian orang yang berdoa tidak disibukkan dengan mereka dari konsentrasi membujur kepada Allah SWT, serta doanya tidak rusak dengan ria dan ujub.
Sementara itu, At-Tadarru’ dengan lemah lembut (yang hanya didengar olehnya sendiri) baik dan tepat di tempat terbuka, atau saat berada di khalayak ramai, seperti: Masjid dan di tempat yang menghidupkan syiar-syiar agama, kecuali pada waktu yang dibolehkan mengangkat suara, seperti: talbiyah di haji, takbir di kedua shalat Id. Itu boleh karena pelaksanaan ibadah-ibadah seperti ini dikerjakan secara saksama dan jauh dari puji diri.” [[5]]
Olehnya itu, ayat ini ditutup dengan firman-Nya:
(إِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ المُعْتَدِيْن)
Maksudnya, dalam kondisi bagaimanapun, Anda tidak dibolehkan melampaui batas yang wajar dalam berdoa. Di antara hal yang tidak diperbolehkan dalam berdoa telah dicontohkan alQâdhi Ibn Atiyyah berikut ini:
“Kalimat tersebut meskipun maknanya umum, tetapi karena ia dalam konteks doa, maka ia mengisyaratkan hal-hal yang tidak boleh dilakukan dalam berdoa. Di antara hal tersebut, seperti: berteriak-teriak meminta. Ini telah diperingatkan Rasul Saw kepada kaum yang terlalu membesarkan suara pada saat takbir, beliau bersabda: (Wahai manusia, rendahkanlah suaramu, sesungguhnya engkau tidak berdoa kepada yang tuli, atau kepada yang gaib).[[6]]Dan yang lainnya lagi, seperti: meminta kedudukan yang sederajat dengan nabi, atau meminta sesuatu yang mustahil terjadi, serta berdoa melakukan kemaksiatan.”[[7]]
Kata (المُعْتَديْن) yang melampaui batas dapat juga menjadi teguran terhadap mereka yang memahami bahwa doa itu tidak lain kecuali sarana memenuhi segala keinginan. Telaah mendalam seperti ini telah diperlihatkan Syekh Mutawalli as-Sya’râwî berikut ini:
“Hindarkan diri Anda untuk tidak berdoa kecuali ingin memenuhi hajat semata!
Yang wajib Anda lakukan berdoa dengan memperlihatkan kepada-Nya kerendahan diri, kehinaan dan kekhusyukan, karena seandainya saja Anda tidak berdoa, maka segala urusan Anda terjadi sesuai dengan garis ketentuan ilahi. Jangan pernah mengira bahwa Anda berdoa supaya terwujud harapan-harapan Anda, karena Allah SWT Maha Suci untuk Anda jadikan sebagai pegawai Anda. Inilah aturan baku yang Allah tetapkan dalam memenuhi tuntutan-tuntutan Anda sekalian.”[
[8]]
Hematnya, tujuan doa memperlihatkan kehambaan kita kepada Allah SWT, diterima atau tidaknya doa tersebut itu permasalahan kedua. Karena jika ia terkabulkan, maka itu adalah karunia-Nya, dan jika tidak terkabulkan itu pun karunia-Nya. Di sana ada kemaslahatan di balik penerimaan, penolakan, dan penundaan dari terkabulkannya doa yang jauh dari pengetahuan manusia sendiri.

Adab kedua: Jangan melakukan kerusakan di bumi!
Al-Qâdhi Ibn Atiyyah berkata:
“Firman-Nya:  (وَلاَ تُفْسِدُوْا فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا)cakupannya sangat umum, meliputi segala bentuk kerusakan, baik yang besar atau kecil, setelah adanya perbaikan. Olehnya itu, tujuan pelarangan tersebut bersifat umum, dan tidak boleh dijustifikasi buta terhadap satu jenis kerusakan, karena hukum seperti ini menyalahi seruan tersebut.”[[9]]
Di antara bentuk kerusakan yang sering dipaparkan Al-Qur’an dalam konteks doa, perilaku sebagian kelompok yang kembali kepada kesesatan setelah doanya terkabulkan dari sebuah bencana dan kesulitan. Ini tercatat dengan begitu apik di ayat-ayat berikut ini:
­Ayat pertama: Dan ketika mereka ditimpa azab mereka pun berkata: (Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhamnu dengan kenabian yang diketahui Allah ada pada sisimu. Sesungguhnya jika kamu dapat mengangkat azab itu dari kami, pasti kami akan beriman kepadamu dan akan kami biarkan Bani Israil pergi bersamamu). Maka setelah Kami hilangkan azab itu dari mereka hingga batas waktu yang mereka sampai kepadanya, tiba-tiba mereka mengingkarinya.(QS. Al-A’raf [7]: 134-135]
Di ayat lain firman-Nya: Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.(QS. Yunus [10]: 12)
Hemat penulis, telah jelas bahwa faedah doa bukan hanya terbatas dari hajat yang terpenuhi seketika itu, tetapi bagaimana menjaga kemurahan dan karunia Allah tersebut supaya tidak pergi dengan sendirinya. Tentunya, tidak ada cara lain untuk menjaganya kecuali tetap berada di jalan Allah. Apalah artinya doa yang terkabulkan pada suatu waktu, tetapi di waktu-waktu lain kita kembali terjerumus dalam kemungkaran dan kemaksiatan. Faedah doa bukan hanya ingin dilihat hari ini dan esok, tetapi faedahnya ingin dipetik di akhirat. Doa yang berkah doa yang senantiasa mengatakan seperti ini:
“Wahai diriku yang terkabulkan doanya! Aku sebenarnya enggan menyuguhkan kenikmatan ini jika di lain hari engkau kembali mengingkari Tuhanmu. Jagalah nikmat ini dengan tidak kembali menengok dunia hitam, apalagi jatuh di lembah kemaksiatan! Aku ingin senantiasa dipetik hari ini, esok dan di akhirat, bukan hanya sehari, kemudian melupakan Sang Maha Pemberi yang telah menjadikan aku fasilitas gratis guna mendekatkan dirimu kepada-Nya.”

Adab ketiga dan keempat: takut doa tidak diterima dan berharap penuh dikabulkan
Makna ini dijustifikasi Syekh al-Alûsî sebagai makna yang banyak dipilih oleh pakar tafsir. Beliau berkata:
“Firman-Nya: (ادْعُوْهُ خَوْفًا وَطَمَعًا) artinya: berdoalah dengan penuh rasa takut dari doa yang tidak mustajab karena ketidaklayakan Anda untuk menjadi orang-orang yang doanya mustajab, dan jangan pernah putus asa untuk senantiasa berharap penuh terhadap jawaban-Nya sebagai karunia untukmu dari-Nya. Inilah pilihan kebanyakan mufassir.”[[10]]
Di lain sisi, Syekh Mutawalli as-Sya’rawî memaparkan makna yang cukup luas, beliau berkata:
“Di sini Al-Qur’an menjelaskan adab lain berdoa, yaitu: (ادْعُوْهُ خَوْفًا وَطَمَعًا) artinya: takutlah dari segala bentuk manifestasi nama-Nya (القَهَّارُ)  yang Maha Menaklukkan, dan berharaplah dengan segenap harapan dari segala bentuk manifestasi nama-Nya (الغَفَّارُ) yang Maha Pengampun, dan (الرَّحِيْمُ)  yang Maha Pengasih. Berdoalah dengan penuh rasa takut dari segala bentuk ketergantungan sifat keperkasaan-Nya, dan berharaplah mendapatkan karunia dari segala bentuk ketergantungan sifat keindahan dan kemurahan-Nya.” [[11]]
Hemat penulis, kedua teks tersebut saling melengkapi dalam memberikan sebuah pemaknaan. Karena jika doa terkabulkan, maka segala aneka karunia dan kenikmatan yang ada di khazanah sifat-sifat keindahan dan kemurahan-Nya tercurahkan dengan sendirinya melebihi volume curah hujan. Akan tetapi, jika doa tidak terkabulkan, maka dengan sendirinya pula turun azab yang datang dari keperkasaan dan keagungan-Nya.
Olehnya itu, kedua kelompok kata yang ada pada ayat itu mustahil dipisahkan, demi terciptanya pemaknaan yang apik dan sempurna. Maha Suci Allah yang telah memilih kosa kata Al-Qur’an dan menempatkannya di tempat yang layak untuknya, pemilihan dan penempatan yang jauh dari kesanggupan para ahli bahasa.
Di penghujung tulisan singkat ini, saya yakin pemerhati tema-tema keislaman dengan mudah menyimpulkan apa yang ada di atas dan berkata:
“Doa adalah otak ibadah, tetapi tidak semua doa punya ketinggian derajat seperti itu. Doa yang sampai ke derajat itu adalah doa yang mustajab. Doa mustajab doa yang dipanjatkan dengan penuh rendah diri dan khusyuk, takut tidak diterima serta berharap penuh dikabulkan. Doa mustajab itu bukan hanya hasilnya dipetik hari ini. Akan tetapi ia senantiasa dipetik hari ini, esok dan di akhirat. Carilah dengan doa karunia dan kenikmatan-Nya yang ada pada khazanah sifat keindahan dan kemurahan-Nya, dan hindari dengan doa pula azab-Nya yang ada pada sifat keperkasaan-Nya!”

Catatan Kaki:
[1] Lihat: Imam Ibn Jarir at-Thabari, Tafsir at-Thabari, vol. 12, hlm. 485
[2] Lihat: al-Allâma Abu Hayyân, al-Bahru al-Muhîth, vol. 4, hlm. 312, dan al-Hâfidzh Ibn Katsîr, Tafsir Ibn Katsîr, vol. 6, hlm. 321
[3] Lihat: al-Qâdhi Ibn Atiyyah, al-Muharrâr al-Wajîz, vol. 2, hlm. 410
[4] Lihat: al-Allâma Muhammad Thâhir bin Asyûr, at-Tahrîr wa at-Tanwîr, vol. 8, hlm. 172
[5] Ustad Muhammad Râsyîd Ridhâ, Tafsir al-Manâr, vol. 8, hlm. 457
[6] Hadit ini dikeluarkan Imam al-Bukhârî di Shahîhnya dari Abi Musa al-Asyarî r.a, kitab as-Siyar wa al-Jihad, bab Mâ Yukrah min Raf’i as-Shawt fi at-Takbîr, hadits, no. 2992, hlm. 824
[7] Lihat: alQâdhi Ibn Atiyyah, Op.Cit, vol. 2, hlm. 410
[8] Syekh Mutawalli as-Sya’râwî, Tafsir as-Sya’râwî, vol. 7, hlm. 4174
[9] Lihat: alQâdhi Ibn Atiyyah, Op.Cit, vol. 2, hlm. 410
[10] Lihat: Syekh al-Alûsî, Ruhul Maânî, vol. 8, hlm. 140
[11] Lihat: Syekh Mutawalli as-Sya’rawî, Op.Cit, vol. 7, hlm. 4180

الأربعاء، 9 أكتوبر 2013

Mukjizat di Balik ke-Ummi-an Rasulullah SAW

بسم الله الرحمن الرحيم

يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ (1) هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (2) وَآخَرِينَ مِنْهُمْ لَمَّا يَلْحَقُوا بِهِمْ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (3) ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ (4

"Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Raja, yang Maha Suci, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata, dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar." (QS. Jumuah : 1-4).
Semua makhluk yang ada di dunia ini membaca tasbih kepada Allah Swt. Mereka mensucikan Allah dari perkara yang tidak pantas bagi-Nya. Pambacaan tasbih dari makhluk tadi, adakalanya yang diketahui manusia, dan ada yang hanya diketahui oleh Allah. Semuanya yang membaca tasbih tadi mempunyai manfaat, baik yang sudah diketahui atau yang belum diketahui manusia.
Kadang ada sesuatu kalau dilihat secara zahirnya itu merupakan perkara yang jelek. Akan tetapi, pada hakikatnya dia mempunyai manfaat. Misalnya, pencuri dan penipu. Dari keduanya ini akan menimbulkan suatu manfaat. Yaitu, mengharuskan adanya polisi untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam suatu negara.
Nabi Muhammad Saw adalah nabi yang ummi, tidak bisa membaca dan menulis atau buta huruf. Ummi dalam istilah Jawa bisa dikatakan "aduh embok." Namun, di balik ke-ummi-an Rasulullah Saw ini mengandung suatu mukjizat dan manfaat yang agung.Yaitu, Al-Quran bukanlah buatan Nabi Muhammad Saw. Di samping itu, meskipun Nabi Muhammad Saw adalah nabi yang ummi, tetapi beliau dapat melihat Lauhul Mahfudz. Suatu anugrah yang tidak dimiliki selain Nabi Muhammad Saw. Maka dari itu, kita tidak boleh menghina ke-ummi-an Rasulullah Saw tadi.
Makkah yang merupakan kota kelahiran Rasulullah Saw itu juga disebut ummi. Hal ini disebabkan kota Makkah mulai zaman dahulu sampai sekarang selalu digunakan sebagai Ibu Kota umat Islam. Keistimewaan Makkah sebagai Ummil Qura itu berbeda dengan ibu kota yang lainnya. Contoh kecilnya adalah kerajaan Majapahit, tatkala kerajaannya sudah hancur, ibu kotanya juga ikut hancur.
Meskipun Nabi Muhammad Saw merupakan nabi yang ummi, namun beliau itu adalah keturunan orang-orang yang mulia, keturunan bangsawan. Dalam istilah pewayangan orang yang bangsawan disebut keturunan bangsa Arya. Beliau adalah keturunan Nabi Ibrahim As. Kesukuan Arya Rasulullah Saw hanya diperoleh dari jalur Nabi Ibrahim saja. Sedangkan Sayyidah Hajar, bukanlah keturunan bangsa Arya. Berbeda dengan Nabi Ishaq As. Beliau itu keturunan bangsa Arya dari jalur ayah dan ibunya. Yaitu, Nabi Ibrahim As dan Sayyidah Sarah.
Kehadiran Nabi Muhammad Saw itu diharapkan dan ditunggu-tunggu oleh Bani Hasyim, sebuah kabilah yang kaumnya cuma sedikit yang bisa membaca dan menulis. Berbeda dengan Bani Abdi Syam, yang merupakan rival dari Bani Hasyim. Mereka sudah maju dalam dunia membaca dan menulis.
Tatkala Bani Abdi Syam belum banyak yang masuk Islam, penulisan wahyu Allah dilakukan sahabat hanya dengan ala kadarnya. Namun, tatkla Bani Abdi Syam banyak yang masuk Islam, penulisan Al-Quran metodenya bertambah maju. Sebab, ada salah satu keturunan Bani Abdi Syam yang ikut menjadi katib Rasulullah Saw untuk menulis wahyu. Yaitu, Muawwiyah bin Abi Sofyan.
Bani Abdi Syam, memanglah kabilah yang maju dalam dunia pendidikannya. Khadijah saja berguru kepada kabilah Abdi Syam. Beliau berguru kepada Waraqah bin Naufal. Dari gurunya ini, Khadijah menjadi sosok perempuan yang alimah. Beliau mengetahui bahwa Nabi Muhammad Saw adalah Nabi yang telah ditunggu-tunggu oleh semua manusia.
Sarang, 21 Mei 2012
Catatan : Artikel ini disarikan dari pengajian Syaikhina Maimoen Zubair pada saat Ngaji Ahadan pada 13 Mei 2012 dengan kajian surat Jumu'ah ayat 1-4.